Rabu, 05 Agustus 2009

SEMANGAT, KEGALAUAN , BERSERAH & KUASA TUHAN (part 1)


GILA, NEKAD, EDAN dan mungkin masih ada banyak kata lain yang bisa dialamatkan kepada sekelompok kaum muda yang berani membuat sebuah acara resmi di sebuah lapangan terbuka pada saat musim hujan di malam hari.

Pada saat itu musim hujan dan musim kemarau masih teratur datangnya tidak seperti saat ini dimana sampai bulan Oktober tanda-tanda musim hujan belum juga kelihatan dan sudah memasuki bulan Maret tanda musim kemarau belum juga kelihatan.

Bagaimana tidak nekad dan edan, tanpa banyak perdebatan dan pertimbangan akan musim penghujan mereka sepakat mengadakan sebuah acara resmi ‘Ulang Tahun Persekutuan’ dengan sebuah acara tunggal yaitu pemutaran film rohani tentang akhir zaman di lapangan terbuka tanpa membuat tenda, jangankan mengantisipasi hujan, memikirkan turunnya hujanpun mungkin tidak. Hanya doa dan doa yang mereka kerjakan, entah itu pertemuan doa setiap selasa malam atau doa semalam suntuk (supaya enak di dengar sekarang tidak pakai kata ‘suntuk’ lagi, beberapa gereja menyebutnya doa semalaman ceria)

Pertunjukkan film di lapangan terbuka di wilayah itu biasanya hanya diadakan bila ada pesta pernikahan saudara-saudara kita dari suku Betawi sebagai sebuah acara hiburan bagi masyarakat yang saat itu memang haus hiburan, pemutaran film dimulai sekitar pukul 21.00 sampai jam 04.00 pagi esok harinya. Maklum kala itu masih hanya ada 1 stasiun TV yakni TVRI itupun mengudara pada jam yang terbatas.

Bila yang mengadakannya orang ‘berada’ maka pemutaran film itu menggunakan 2 buah proyektor sehingga tidak ada jeda yang lama ketika pergantian rol film dan film yang diputar juga masih relative baru. Sedangkan kalau yang menyelenggarakannya orang ‘biasa’ maka pemutaran film hanya menggunakan 1 buah proyektor, ini mengakibatkan waktu yang cukup lama untuk pergantian rol film dan film yang diputar kadang sudah biasa dipertunjukkan atau film lama, lengkap dengan keramaian pedagang dan aneka permainan keberuntungan.

‘Layar Tancep’ begitu orang menyebutnya, karena memang layar lebarnya hanya ditancapkan ke dalam tanah dan diikat kokoh supaya tidak roboh tertiup angin. Pernah suatu kali saya mengalami kejadian menarik ketika menyaksikan film ‘Aladin’ yang dibintangi oleh Rano Karno. Ketika itu sang tokoh cerita berteriak ‘Dewa angin…. Dewa angin… Hai Dewa angin datanglah’ dan terjadilah angin keras benar-benar datang dan merubuhkan layar besar yang tertancap di tanah dan sebagian penonton lari kocar-kacir menyelamatkan diri. Istilah lainnya ‘Misbar’ atau gerimis bubar, sehingga pertunjukkan akan berhenti atau bubar bila gerimis dan hujan turun mengguyur lapangan.

Nah, acara seperti itulah yang akan digelar dalam rangka Ulang Tahun persekutuan kaum muda tersebut, hanya saja film yang diputar adalah 1 film rohani dan tidak sampai pagi hari. Setelah pertemuan demi pertemuan, maka disepakatilah acara akan diadakan di lapangan upacara SMP 68 Cipete Cilandak Jakarta Selatan. Karena ketua persekutuan punya hubungan yang baik dengan pihak sekolah (beliau mengajar pendidikan agama Kristen di sekolah tersebut) maka ijin peminjaman tempat diperoleh.

Seluruh panitia bekerja sama bahu-membahu untuk mensukseskan acara tersebut, pihak film dihubungi, tiket atau undangan disiapkan dan diedarkan kepada kerabat, keluarga dan undangan lainnya. Latihan demi latihan baik itu Vocal Group, MC/SL berserta pemain musik terus berlatih dengan semangat, tak sabar rasanya menantikan hari penyelenggaraan Ulang Tahun PD Yeremia.

Setelah melakukan banyak aktifitas untuk mempersiap acara, akhirnya tibalah hari yang ditunggu-tunggu mereka. Hari Minggu siang, setelah beribadah di gereja masing-masing mereka berkumpul untuk mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan. Membuat panggung dari kumpulan meja belajar, mengambil karpet besar dari rumah ketua untuk mengalasi panggung supaya rapi dan elegan. Sementara yang lainnya mengangkat kursi belajar dari kelas-kelas disekitar lapangan upacara untuk undangan supaya nyaman menyaksikan film rohani.

Di bagian dalam setelah gerbang sekolah tampak rekan-rekan putri sedang mempersiapkan meja untuk penerima tamu dan pernak-perniknya. Sebagian lagi membesihkan lapangan yang akan digunakan untuk acara nanti malam.

Matahari menampakkan wajahnya dengan dihiasi beberapa awan putih beriringan yang menandakan cerahnya cuaca saat itu menambah semangat kerja anak-anak muda tersebut. Ketika waktu sudah mendekati jam 5 sore maka satu persatu dari mereka meninggalkan lokasi, pulang untuk membersihkan diri, berdandan secantik dan seganteng mungkin untuk merayakan hari suka cita dan ucapan syukur atas kemurahan Tuhan bagi PD Yeremia.

HUJAN DERAS TURUN

Ketika sudah mulai dekat ke rumah, saya melihat ke langit dan tampaklah pemandangan yang membuat hati kuatir dan gentar karena cerahnya cuaca di siang hari sudah mulai berganti dengan tanda-tanda mendung dan gelapnya langit. Matahari yang menampakkan diri dengan bersahabat pada siang hari sudah pergi entah kemana, yang tampak hanya gumpalan awan gelap dan pekat. Tanda hujan akan turun. Saya terus berjalan dengan perasaan campur baur antara berdoa minta kepada Tuhan agar hujan tidak turun dan kekuatiran akan turunnya hujan.

Saya tidak mau membayangkan akan kelangsungan acara yang diadakan di tempat terbuka terganggu dengan turunnya hujan. Bahkan ketika mandi dan makan hati saya terus dilanda kekuatiran sekalipun pada saat yang sama doa tak henti-hentinya dinaikkan. Segera setelah itu saya kembali menuju SPM 68, tempat acara diadakan. Sesampainya disana saya mendapati rekan-rekan sudah berdandan rapi akan tetapi tampak rona kecemasan di wajah mereka seiring dengan mendungnya langit disertai beberapa kilat yang terdengar bersahut-sahutan. Lampu mulai menerangi tempat di mana kami berkumpul dan beberapa rekan terlihat duduk sendiri-sendiri dan ada yang bergerombol di dalam doa memohon kemurahan Tuhan agar hujan tidak turun.

Benar saja………. tak lama berselang, sesuatu yang dikuatirkanpun terjadilah, hujan turun dengan deras mengguyur SMP 68, membasahi panggung, membasahi karpet, membasahi kursi-kursi yang tertata rapi, membasahi lapangan upacara. Undangan satu persatu mulai berdatangan dibawah guyuran hujan, dan berkumpul di bagian teras depan sekolah (sebuah area yang cukup untuk berteduh). Sebagian panitia menyambut mereka dan sebagian yang lain berkumpul disebuah kelas untuk berdoa dengan hati menangis memohon kemurahan Tuhan agar hujan berhenti.

DOA dan AIR MATA

Dengan diselingi lagu pujian yang mengandung pernyataan iman akan kemaha kuasaan Tuhan kami berdoa tak putus-putusnya dengan hati hancur agar Allah turun tangan menolong kami. ‘Bukankah Engkau yang berkuasa Tuhan? Bukankah Engkau yang membuat dan mengatur cuaca, hentikanlah hujan ini kami mohon, jangan permalukan kami Tuhan dan kalau ada dosa yang kami buat entah itu pribadi ataupun dosa persekutuan ampunilah kami’.

Demikianlah kira-kira doa yang dinaikkan dengan hati hancur, setelah selesai berdoa tak serta merta hujan berhenti dan kami hanya bisa melanjutkan berdoa dalam hati masing-masing sambil memandang tak berdaya ke arah lapangan yang terus diguyur hujan. Semakin banyak undangan yang sudah hadir akan tetapi keadaan tidak juga kunjung membaik.

Setelah beberapa waktu hati ini dipenuhi dengan kegalauan akhirnya Tuhanpun menjawab doa kami dengan menghentikan hujan. Serasa beban berat yang menindih pundak dan sesaknya napas ini hilang seketika diganti dengan suka cita. Segera kami mengambil inisiatif untuk membersihkan dan mengeringkan lapangan dengan alat seadanya, membersihkan, melap kursi dan panggung tanpa memperdulikan penampilan dan pakaian keren yang kami kenakan. Yang penting acara dapat berjalan mengingat waktu terus bertambah malam dan undangan sudah hadir menunggu acara dimulai.

Akhirnya kami selesai merapikan tempat acara, sekalipun berkeringat dan lelah tapi kami puas karena Tuhan menjawab doa kami, hujan berhenti dan sesaat lagi acarapun kan dimulai. Tetapi rupanya pergulatan batin dan doa belum selesai sampai disitu, Tuhan mengajar lagi bagaimana untuk berserah dan mengandalkan Dia dengan sepenuhnya.

PERGUMULAN BELUM SELESAI (gelap gulita,listrik mati)

Ya, mungkin pantaslah kalau kemudian sebagian orang menujukan kalimat ‘EDAN, GILA, NEKAD’ kepada kami. Setelah hujan berhenti terjadilah peristiwa kedua yang tak kalah menyesakkan dada ini. LISTRIK MATI.

Gelap gulita memenuhi teras depan, remang-remang di lapangan terbuka, sound system terdiam sejuta bahasa, proyektor film berdiri tak berdaya bagaikan sebuah tiang kayu, panitia hening pasrah tak berdaya, itulah suasana yang ada kala listrik mati.

Kembali anak-anak muda itu berkumpul untuk berdoa dengan menangis dan hati yang hancur memohon belas kasihan Tuhan. Setelah itu mereka berdiskusi dan akhirnya tak dapat ditawar lagi. (Bersambung.............)


Segala kemuliaan bagi DIA
SHS
nb. : ditulis utk Nelson PL dan kawan-kawan PD Yeremia Cipete

Tidak ada komentar: