Kamis, 07 Mei 2009

Pencuri kecil

Hari itu adalah hari naas yang saya alami, seperti biasanya saya pulang sekolah mendapati rumah dalam keadaan terkunci, bapak dan mama tidak ada dirumah untuk mencari nafkah begitu juga dengan kakak atau adik yang lain.

Tetapi situasi itu justru adalah situasi yang diharapkan oleh kami, bersama abang saya (alm) kami melakukan tindakan nekad untuk mendapatkan uang jajan yang akan digunakan untuk jajan dan mentraktir beberapa kawan di sekitar rumah dan setiap kali melakukan itu perasaan bangga karena banyak uang dan menjadi bos kecil bagi mereka.

Buat anak sekecil kami tindakan itu adalah tindakan yang sangat berbahaya, naik keatas atap rumah dan menggeser beberapa buah genteng untuk bisa masuk kerumah. Setelah masuk ke dalam rumah tujuan kami langsung ke kamar orang tua yang memang tidak menggunakan plafon atau langit-langit sehingga kami bisa langsung masuk ke dalam kamar bapak dan mama.

Rumah kami terletak paling pinggir bersebelahan dengan sawah yang terhampar luas sehingga tidak terlihat oleh tetangga yang lain, saat itu sekitar tahun 1970 kota Jakarta masih banyak didapati sawah produktif. Rumah kami terdiri dari satu ruang tamu, 2 kamar tidur, 1 dapur bersebelahan dengan kamar mandi yang punya pintu tersendiri yang bisa digunakan tanpa harus melalui pintu utama dengan kamar mandi beratapkan langit.

Setalah berada di dalam kamar bapak dan mama langsung kami beraksi membuka pintu lemari, dan aha ini dia 'sebuah celengan' (tempat menyimpan uang tabungan) berbentuk ayam milik kakak perempuan (alm) langsung di pegang dan kemudian kemi bekerja ala mc giver memasukkan sebatang lidi kedalam celengan untuk mengeluarkan beberapa uang recehan yang ada didalamnya seperti yang sudah-sudah biasa kami lakukan.

Tetapi malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih, tidak seperti kesuksesan yang kami raih tiba-tiba celengan yang ada dipegangan terjatuh dan jatuh berantakan. Panik, bingung dan ketakutan menyelimuti perasaan kami. Segera kami keluar rumah lewat genteng seperti kami masuk dan mencari celengan yang model dan warnanya sama. Tetapi setelah muter-muter warung di sekitar jl. anggur tidak satupun celengan yang mirip. Akhirnya didapati gantinya semirip mungkin, setelah masuk ke dalam rumah kembali dengan cara yang sama dan memasukkan semua sisa uang ke dalam celengan tersebut. Di luar rumah kami tetap gelisah karena sadar bahwa celengan itu tetap akan ketahuan kalau sudah berubah, jadilah kami lari dari rumah ke mana kami tahu hingga malam hari.

Tentu saja setelah sore orang tua kami kembali dan seluruh anggota keluarga yang lain berkumpul kami tak kunjung datang dan mereka menjadi panik dan mencari cari ke tetangga, dan cukup jauh dari rumah di daerah Bali Village, dua orang bocah sedang menangis ketakutan ditengah gelapnya malam dekat dengan empang (waktu itu Jakarta masih gelap gulita kalau malam hari). Ketika kami sedang menangis ada seorang bapak yang menemukan kami (ternyata dia adalah orang tua dari teman abang kami) dan mengantar kami pulang.

Tak terbayangkan senangnya hati kedua orang tua kami dan sangat berterima kasih kepada bapak tersebut dan selepas mengantarnya pamit seraya mengucapkan terima kasih tibalah waktunya kami di adili dan dihukum dengan dipukul berkali-kali oleh bapak. Sambil menangis menahan sakit kami berjanji tak mengulanginya lagi. Seiring waktu berjalan tidak secara langsung kebandelan kami berubah sama sekali, kadang-kadang masih juga melakukannya dalam bentuk yang lain.

Banyak pelajaran yang bisa dipetik dari kejadian tersebut, termasuk bagaimana mendisiplin dan mendidik seorang anak. SHS