Jumat, 13 November 2009

Memberi dari kekurangan


Bulan Mei 2009, dalam sebuah pertemuan doa yang saya pimpin, diikuti oleh tidak lebih dari 8 orang saya dikejutkan dengan sebuah berkat yang Tuhan berikan melalui seseorang yang tidak saya duga sama sekali. Bapak tersebut memberikan kepada saya secarik uang kertas dalam nominal terbesar dalam mata uang rupiah.

Saya terperanjat dan berusaha menolak dengan halus, bagaimana mungkin saya tega menerima pemberian tersebut karena sepanjang sepengetahuan saya Bapak ini tidak terlalu berkelebihan. Dalam sebuah percakapan beliau pernah menceritakan bahwa untuk memberikan persembahan saja kadang dia harus bergumul dan berdoa supaya punya sejumlah uang untuk dimasukkan kedalam kantong kolekte.

Lha, justru hari itu dia menyodorkan uang tersebut kepada saya seraya berkata ‘Maaf pak bukannya saya kurang hormat memberikan uang ini kepada Bapak apalagi tanpa amplop, tapi saya tergerak untuk memberikannya kepada bapak setelah hari ini tanpa diduga saya memperoleh berkat dari Tuhan, ada seseorang yang berhutang kepada saya cukup lama hari ini membayar kepada saya’ begitu dia katakan kepada saya.

Saya mengenal bapak ini, dan saya percaya tidak ada maksud dia untuk tidak sopan dan menyombongkan diri dengan memberikan uang tersebut. Itulah sebabnya saya tidak sampai hati menolak pemberian yang tulus darinya. Saya tidak ingin mengecewakan dan membuat dia berkecil hati dengan menolak pemberian tersebut.

Terus terang keadaan keuangan saya memang pada waktu itu kurang baik, tapi bukan itu alasan saya menerima pemberiannya, tetapi kejujuran dan ketulusannyalah yang mendorong saya untuk menerimanya. Tetapi lebih dari itu, saya telah menerima sesuatu yang lebih besar jika dibandingkan dengan pemberian uang tersebut. Tuhan telah mengajar saya melalui bapak tersebut mengenai memberi dari kekurangan.

Sering sebuah perasaan berat dan tidak rela ketika disuatu kesempatan Allah mendesak saya untuk memberikan persembahan atau bantuan entah itu kepada perorangan, gereja atau sekelompok masyarakat yang membutuhkan bantuan. Logika saya tidak sejalan dengan hati kecil saya, hati kecil ini terdorong untuk memberi tapi logika menolaknya dengan alasan logis ‘Saya aja masih kurang dan perlu bantuan, mana mungkin saya memberi bantuan kepada pihak lain, dan lagi kalau saya membantu apa yang saya akan beri tidak mempunyai dampak yang berarti’ Itulah perdebatan yang sering saya alami dan biasanya logika ini memenangkan perdebatan tersebut.

Tapi sungguh malam itu, hati dan pikiran saya tercekat dan terdiam malu. Saya belajar dan memohon pertolongan dari Tuhan untuk bisa juga mencontoh bapak ini berani memberi dari kekurangan untuk menolong dan mejadi saluran berkat bagi orang lain.

Puji Tuhan.
SHS