Jumat, 11 September 2009

In Memoriam : Our Mother (Op. Helga) September 2008 - September 2009


Bagi wanita suku batak yang telah mempunyai anak akan mempunyai nama panggilan atau sebutan baru sesuai dengan nama anak pertamanya, demikian juga dengan mamaku tercinta. Ketika anak pertamanya lahir (kakak tertua kami), anak itu dinamai ‘Basaria’. Maka dengan sendirinya sebuatan mamaku berubah menjadi ‘Inang Basaria’ atau ‘Mama Basaria’. Nama panggilan atau nama sebutan itu tidak pernah berubah sampai kemudian dia mendapat cucu pertama. Ketika cucu pertamanya lahir nama panggilan atau sebutan mamaku berubah menjadi Opung Helga.

Panggilan Inang Basaria masih terus menjadi panggilannya hingga tahun 30 September 1995, padahal sejak tahun 1983 kakak pertama kami sudah meninggal. Ketika mama dipanggil pulang ke rumah Bapa di sorga saya mulai meyadari betapa mamaku ini termasuk wanita yang tegar dan tabah, bagaimana tidak selama dia hidup dia harus menghadapi kenyataan ditinggal pergi oleh 3 orang yang dikasihinya. Pertama dia ditinggal oleh anak pertamanya, tidak mudah bagi sesorang harus dipanggil selama kurang lebih 12 tahun menurut nama orang yang sudah meninggal, putri sulungnya yang menjadi kebanggaannya karena sebentar lagi akan mengikuti jejak ayahnya menjadi seorang guru. Tentu setiap kali orang memanggilnya ‘Inang Basaria’ ingatan akan anak gadisnya yang telah meninggal akan terus dikenang, saya tidak tahu sampai kapan mama bisa menerima dengan lapang dada dan tidak terusik dengan panggilan itu.

Selang 1 tahun kemudian suaminya menyusul anak pertamanya, beban beratnya bukannya berkurang tapi justru bertambah, di kota Metropolitan Jakarta, tanpa bekal pendidikan yang memadai karena mama tak sampai lulus SD ditambah 5 orang anak yang masih sekolah. Saya belum mengerti banyak dan tentu belum bisa diajak tukar pikiran untuk membagi bebannya. Itulah sebabnya dia ‘bertarung’ dengan keras menghadapi kerasnya kehidupan di Jakarta. Tak jarang dia harus turun tangan langsung untuk menjaga sebuah kios kecil yakni sebuah bengkel tambal ban peninggalan almarhum ayah kami.

Setiap kali dia kehilangan orang yang dikasihinya (anak pertama, suami dan anak ke tiga) reaksi kesedihan yang ditunjukkannya pada saat itu agak berlebihan demikian menurut pendapat saya, kadang saya lelah dan agak kesal untuk menghibur dan mengingatkannya akan tetapi saya baru bisa menyadari dan mengerti arti kesedihan itu ketika saya kehilangan dia. Sekarang saya justru kagum dan bangga padanya yang bisa melewati kepedihan dan beban berat yang harus dialaminya.

Kehilangan seorang mama yang merangkap ayah bagi saya adalah sesuatu yang berat untuk dijalani. Kalau bukan karena kekuatan dari Tuhan dan dukungan dari orang-orang disekeliling saya tentu akan memerlukan waktu yang panjang untuk merelakannya. Tentu hal yang sama juga dialami oleh mama saya tercinta ketika dia kehilangan 3 orang yang dikasihinya.

Kami anak-anaknya diatur dengan tegas untuk tidak bersantai dan bermalas-malasan. Bukan hal yang aneh kalau setiap pagi terdengar teriakannya sambil sekali-kali memukul triplek tangga membangunkan kami yang tidur dilantai 2 untuk segera ke sekolah. Pada hari minggu itupun tetap dilakukannya ketika kami ingin merasakan bangun lebih siang dan santai sebentar mumpung libur.

Situasi menjadi lebih berat baginya karena kami anak-anaknya bersekolah di tempat yang banyak dihuni oleh siswa dari orang tua yang berada, hal ini cukup mempengaruhi mental kami, merasa minder. Tapi kami mengucap syukur karena mama dan ditambah dengan tulang-nantulang selalu membantu, mengingatkan dan menasehatkan agar kami ‘tahu diri’ dan mau berusaha lebih keras untuk membantu mama yang berjuang membesarkan kami.

Pernah suatu kali mama sangat marah kepada saya karena saya tidak mau pergi untuk menjaga bengkel dengan alasan mau pergi main dengan teman. Ketika itu dia sedang mencuci pakaian dan dalam marahnya dia melemparkan sikat baju kea rah saya ‘bumm..’, sikat itu tepat mengenai kening dan kaca mata yang saya kenakan patah menjadi dua. Saya kaget luar biasa disertai rasa malu kerena telah membantahnya, mama juga kaget dan segera menghampiri untuk meminta maaf dan mengelus kepala saya.

Ya, dia seorang ibu yang sangat menyanyangi anaknya banyak kenangan manis yang saya alami bersamanya. Pergi ke gereja selalu pada ibadah atau misa jam 6 pagi, dan menjadi kebahagiaan bagi saya setiap kali duduk bersebelahan untuk beribadah.

Setiap kali melewati pasar inpres Cipete selalu terkenang ketika menemaninya belanja, mencari karet gelang di pasar adalah kegiatan saya sambil menemaninya belanja sayur atau ikan dan membeli kue basah untuk oleh-oleh adalah waktu yang sangat saya nikmati. Kalaupun bukan giliran saya menemaninya ke pasar, entah itu adik atau abang maka saya akan menanti dengan tidak sabar kepulangannya membawa oleh-oleh kue basah dari pasar terutama ‘dadar gulung’.

Pernah satu kali saya diajaknya untuk dibelikan ikat pinggang di pasar Blok A. “Bang berapa ikat pinggangnya ? “ demikian tanyanya kepada penjual ikat pinggang. Terjadilah tawar menawar, rupaya harga yang diminta mama terlalu murah hingga ketika kami pergi penjualnya berteriak memanggil kami sambil berkata ‘Bu… ini ikat pinggangnya gratis saja’ kami tertawa sambil meninggalkan penjual itu.

Pernah juga ketika kami makan bakso di Blok M, kami tertawa karena harus ngebut makan bakso supaya ketika tukang ngamen pindah ke meja kami bakso selesai di santap. Banyak sekali kenangan manis yang kami alami bersama. Tak heran setiap kali saya bertemu mama kami betah berjam-jam untuk berbincang-bincang atau ‘marnonang’ sampai jauh malam. Itulah sebabnya menjelang kepulangannya ke rumah Bapa di sorga, selama saya menemaninya di rumah sakit kami banyak bercakap-cakap. Saya mengucap syukur kepada Tuhan, sekalipun istri saya bukan suku batak tapi mereka bisa betah ngobrol bahkan bisa berjam-jam.

Saya percaya ada banyak pergumulannya yang tidak bisa dia ceritakan kepada kami anak-anaknya yang dia bawa kepada Tuhan dalam doanya. Lagu ‘Di doa ibuku namaku disebut’ bukan sekedar sebuah lagu tanpa makna tapi itu sungguh dilakukannya. Banyak hal berat hal yang dialami, 3 orang yang dikasihinya meninggal, kebakaran yang dialami bengkelnya, kecelakaan yang dialami suaminya, kecelakaan yang dialami anak laki-laki pertamanya, suaminya pernah dipenjara sebagai penanggung jawab bengkel yang terbakar, anak laki-laki ke dua masuk penjara karena bandel (Puji Tuhan diakhir hidupnya mamalah yang merawatnya, hingga meninggal dalam perawatannya dia sadar dan bertobat), anak laki-laki terakhirnya pernah dipenjara karena perkelahian pelajar (kemudian dilepaskan karena tidak terlibat).

Suatu kali adik laki-laki saya pulang dari test penerimaan karyawan Merpati menghampiri mama dan berkata sambil menangis ‘Ma, siapin uang dong ma untuk Mangihut’, mama pun bertanya “Untuk apa amang, dari mana mama punya uang”. “Besok pengumuman diterima apa engga saya di Merpati, kata orang kalau ga punya duit gak mungkin diterima” sahutnya lagi. Kamipun terdiam dan pasrah, besoknya dia pulang dengan berita gembira kalau dia diterima sekalipun tidak menyediakan sepeserpun uang, saya melihat wajah mama, terlihat jelas disana rona kebahagiaan dan kebanggaan.

Saya bersyukur, diakhir hidupnya kami bisa memberikan sedikit kebahagiaan dan kebanggaan kepadanya sekalipun tidak akan pernah sebanding dengan apa yang telah dia berikan kepada kami. Saat berlibur bersama di pinggir Danau Toba daerah Tongging dan sekitarnya adalah saat-saat yang tak terlupakan, melihat mama, kami, dan cucu-cucunya bersenda gurau.

Saya bersyukur sebelum dia kembali kepada Bapa di sorga kami semua anak-anaknya telah berumah tangga, terlebih ketika ‘Rosmina’ anak perempuan bungsunya menikah sehingga dia punya menantu lak-laki atau ‘Hela’ dalam bahasa batak.

Sebelum dia pulang kerumah Bapa, dia sempat juga berkeliling dengan abang, tulang-nantulang ke Sibolga dengan mengendarai mobil Pa Festus. “Biasanya mama yang numpang di mobil tulang-nantulang tapi sekali ini merekalah yang numpang sama mama” demikian Pa Festus berseloroh.

Kami berterima kasih kepada semua yang telah menemani, membantu dan menerima mama kami apa adanya khususnya kepada keluarga besar Op. Sarmauli terlebih Tulang dan Nantulang, tanpa mengurangi rasa hormat kami tidak bisa menyebut semua pihak karena terlalu banyak pihak yang tidak dapat disebut satu persatu.

Kami beryukur untuk banyak hal yang tidak bisa diuraikan satu-persatu di sini. Kami bersyukur kepada Allah Bapa, Tuhan Yesus dan kepada Roh Kudus ketiga yang Esa yang telah memberikan mama yang istimewa kepada kami dan memberikan bimbingan, kekuatan dan penghiburan kepadanya terlebih telah meyelamatkannya dan menyediakan rumah di sorga mulia dimana kami akan bersama-sama lagi untuk selamaya.

September 2009
SHS

Tidak ada komentar: