Jumat, 31 Oktober 2008

Poco-poco

Sebenarnya apa yang saya tulis ini sudah ada dipikiran saya sejak lama dan muncul kembali ketika dalam satu kesempatan saya membaca artikel Pdt. DTA di rumametmet.com sehingga mengusik saya untuk menuangkan pikiran saya dalam bentuk tulisan. Beberapa waktu terakhir ini disetiap pesta pernikahan adat batak yang saya hadiri ada satu lagu yang begitu favorit dikumandangkan bahkan hampir sudah merupakan sebuah lagu wajib, wajib dinyanyikan dan pesta tersebut kurang nikmat kalau lagu tersebut tidak dinyanyikan.

Karena dengan iringan lagu tersebut para undangan terlebih lagi pihak-pihak yang memberi ulos akan semakin bersemangat menari sambil mengoyang-goyangkan ulosnya. Bahkan dalam satu kesempatan yang saya ikuti, iring-iringin pemberi ulos itu sampai harus lebih dari satu kali memutari pengantin sebelum meng-ulosi karena senangnya (entah senang dengan lagunya atau senang menari).padahal masih banyak acara sedangkan hari sudah mulai menjelang senja.

Tapi yang aneh lagu tersebut terasa asing bagi telinga orang batak, tetapi hampir mudah dikenali dari kata-katanya karena kata-katanya seperti bahasa dari suku Minahasa/Maluku (lain halnya kalau kemudian negara tetangga kita mengakui lagu tersebut sebagai lagu dari negara mereka). Dari judul tulisan ini tentu tahu lagu yang dimaksud adalah poco-poco lagu yang dipopulerkan oleh Yopie Latul. Lagu itu mungkin sudah tidak terdengar lagi di radio atau pedagang kaset/vcd akan tetapi tetap exist di acara pernikahan batak khususnya sampai saat saya membuat tulisan ini.

Yang menjadi keheranan saya (saya tidak fanatik dengan adat batak tapi tidak juga membencinya) adalah kenapa lagu tersebut bisa mendapat bagian di acara batak, padahal sebagian orang batak merasa ‘adat batak’ adalah yang terbaik walaupun saya juga mengakui bagi suku yang lain tentu juga punya pendapat yang sama dengan adat-nya masing-masing. Kadang kita jumpai ketika adat batak bersinggungan dengan adat suku lain pihak batak tidak mau mengalah dan kompromi menerima adat suku lain. Bahkan ada beberapa kawan yang Kristen tidak disetujui pernikahannya dan menjadi batal karena belum sanggup membiayai pernikahannya dengan menggunakan adat batak dan hanya memilih pemberkatan nikah di gereja saja.

Kembali kepada lagu poco-poco, lagu ini jelas bukan lagu batak, lagu ini berasal dari Minahasa atau lebih dikenal Manado. Tidak perlu disangkal sebagian orang batak menganggap saudara kita dari Manado adalah orang-orang yang sukanya hanya pesta dan dansa-dansi, walaupun sebenarnya dugaan itu tidak mendasar sama sekali. Saya tidak tahu apakah ini sebuah keprihatinan atau kebanggaan. Prihatin karena orang batak sudah mulai luntur kebanggaannya dengan lagu bataknya sehingga mengadopsi lagu suku lain masuk dalam acara adatnya atau bangga karena ternyata orang batak bisa juga menghargai daerah lain dan memasukkannya dalam acara batak dengan suka cita.

Sepanjang yang saya tahu dalam adat batak terdapat batasan-batasan atau aturan-aturan yang cukup ketat dalam berkomunikasi, ketika saya menikah satuhal penting yang diajarkan kepada saya (apalagi istri saya bukan orang batak) bahwa istri saya tidak boleh duduk bersebelahan dengan abang saya (ayah saya sudah tiada), jadi harus ada pemisah, bisa saya atau istri abang saya atau kalau tidak ada harus ada jarak. Panggilan atau sapaan juga tidak boleh sembarangan dan masih ada beberapa pantangan yang lain.

Tetapi tahukah orang batak atau tahukah kita arti dari lagu poco-poco itu ? Dalam sebuah kesempatan saya bertanya kepada dua orang kawan ,yang satu orang Minahasa/Manado dan yang satu lagi adalah orang Maluku/Ambon kedua daerah ini mempunyai banyak kesamaan bahasa. Mereka mengatakan sesuatu yang membuat pencerahan buat saya, kawan saya yang dari Ambon bilang ‘Waduh lagu itu mah ga bener.. di Ambon lagu itu banyak orang tua yang ga suka apalagi kalau dinyanyiin di gereja, Bapa tahu ga artinya ? Lagu itu kan kurang sopan untuk dinyanyikan’ Artinya kurang lebih ingin mengatakan badan/body anda bahenol atau montok dan bikin saya melayang jauh… jauh… dan bikin pikiran macam-macam.

Bayangkan kalau saya menyanyi sambil menari bersama nantulang, ito saya atau perempuan lain dan saya menyanyikan lagu itu…..?????? Saya terdiam dan bertanya ‘Bener artinya begitu..?’ diapun menjawab ‘bener pak.. saya juga heran disini kok sering banget dinyanyiin padahal di sana di tempat saya udah ditinggalin’ Gereja saya bersebelahan dengan gereja HKBP yang ruangan bawahnya sering dipakai untuk acara adat batak dan acara-acara orang batak lainnya.

Mengertikah kita yang sering menyanyikan lagu tersebut atau kita hanya berpikir arti ga penting yang penting lagunya enak dan cocok untuk mengiringi tarian termasuk tarian untuk mengiringi pemberian ulos. Saya hanya bisa mengusulkan kepada saudara-saudara dekat saya untuk tidak meminta lagu tersebut dinyanyikan bahkan kalau mungkin saudara-saudara saya yang lain juga memikirkan ulang atau menolak pemusik untuk menyanyikan lagu tersebut, tapi terserah kalau tetap ingin dinyanyikan tapi alangkah lebih baiknya bila kita orang-orang batak yang menganggap adat orang batak adalah adat yang baik bisa meresponinya.

Dari saya yang masih belajar bahasa batak.

3 komentar:

Unknown mengatakan...

Apakah pemilik blog ini adalah Sampe Horas Manulang, alumni SMA Negeri 34 Pondok Labu Jakarta, yang sewaktu masih SMA berdomisili di dekat lampu merah jalan arteri cipete serta di depan pasar?

sampe manullang mengatakan...

Pa kabar? kurang lebih 20 tahun tidak berjumpa, sekarang saya tinggal di kota Serang Banten

Anonim mengatakan...

Pak Sampe,...
Ketemu teman lama nich.Cari tau tuh dimana tempat tinggalnya or no.hpnya ntar adain reunian...Seru tuh